Kamis, 05 April 2012

Laporan laba rugi

LAPORAN RUGI LABA

Laporan rugi laba adalah bagian dari laporan keuangan suatu perusahaan yang dihasilkan pada suatu periode akuntansi yang menjabarkan unsur-unsur pendapatan dan beban perusahaan sehingga menghasilkan suatu laba (atau rugi) bersih. Secara umum, laporan rugi laba perusahaan ini bisa dibagi menjadi dua macam jenis laporan. Hal ini disesuaikan dengan tujuan pembuatan laporan rugi laba tersebut.
Kedua jenis laporan rugi laba tersebut adalah :
1. Laporan Laba Rugi Komersial
Laporan laba rugi komersial adalah sebuah laporan laba rugi yang dalam proses pembuatannya didasarkan pada teri akuntansi yang ada. Selain itu, acuan yang digunakan didasarkan pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Pembuatan laporan rugi laba jenis ini ditujukan untuk memenuhi kepentingan dua pihak yang terkait dengan perusahaan, yaitu pihak internal serta pihak eksternal perusahaan. Bagi pihak internal perusahaan, laporan rugi laba ini digunakan untuk landasan dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan yang terkait strategi perusahaan. Laporan laba rugi ini merupakan sebuah catatan riil tentang posisi laba rugi perusahaan, mengingat hasil perhitungan yang didapat masih belum diperhitungkan dengan beban pajak.
2. Laporan Laba Rugi Fiskal
Laporan laba rugi fiskal adalah sebuah laporan keuangan perusahaan yang pembuatannya didasarkan pada peraturan pemerintah yang dituangkan dalam Undang-undang PPh No. 17 tahun 2000. Laporan ini dibuat untuk menentukan besaran pajak yang harus dibayarkan perusahaan dari komponen penghasilan kena pajak (PKP) dan juga pajak penghasilan terutang.

A. HUBUNGAN RUGI LABA DAN NERACA
Angka rugi laba merupakan informasi penting yang di cantumkan dalam laba rugi. Dalam neraca bisa ditampilkan melalui Pos Laba Ditahan atau Pos Laba Rugi. Laporan laba rugi ini adalah penjelasan lengkap dan lebih rinci tentang perhitungan laba rugi ini.
Dalam teori akuntansi dikenal dua pendekatan dalam menilai hubungan antara neraca dan laba rugi, yaitu articulated dan non articulated. Pendekatan articulated artinya laporan laba rugi itu dianggap sebagai subklasifikasi dari pos modal. Sementara pendekatan non articulated artinya neraca dan laporan laba rugi ini secara matematis independen satu sama lain. Dalam pendekatan articulated ada 2 konsep, yaitu konsep revenue expense approach dan asset laibility approach. Dalam konsep pertama, revenue expense, laporan laba rugi dianggap laporan yang paling utama semua transaksi dipandang sebagai pos revenue dan expense, semua transaksi dianggap sebagai pengakuan laba (matching), pengakuan laba dan alokasi ke laba rugi. Dalam konsep ini yang dipindah neraca adalah by product dari hasil pengakuan laba atau matching tadi. Artinya yang dicatat hanya deferred kredit (liabillities) dan deferred charges (asset).

B. KONSEP MATCHING
Biaya adalah semua yang di bebankan kepada produk barang dan jasa yang akan dijual untuk mendapatkan revenue. Biaya itu tidak termasuk dalam produk itu bisa juga belum termasuk didalamnya karena mungkin saja mendahului atau dikeluarkan/accrued setelah selesainya produk, misalnya biaya penyusutan, perizinan, asuransi dan gaji.
Menurut teori matching concept, maka biaya harus dibebankan sesuai dengan pengakuan dan periode panghasilan. Dalam hal sukar melakukan matching, maka pembebanan harus dilakukan secara rasional dan sistematis. Berdasarkan waktu pengeluaran/pembebanan biaya dan prinsip matching dikenal 2 konsep berikut :

1. Direct atau Product Matching.
Pada saat penjualan atau hasil diketahui, hasil ini di match dengan biaya yang berkaitan dengan produk atau jasa yang dijual itu. Periode ini disebut juga biaya produk. Konsep ini adalah konsep yang mengabaikan beberapa masalah antara lain biaya yang belum bisa dikaitkan langsung dengan prosuk itu sehingga dalam konsep ini semua biaya lain diluar biaya produk atau jasa itu dianggap sebagai aktiva yang dialihkan ke periode yang akan datang.

2. Indirect atau Periode Matching.
Disini matching dilakukan antara hasil yang diperoleh dengan seluruh biaya yang dikeluarkan/sibebankan selama periode dimana digunakan bukan berdasarkan waktu perolehan atau pembayaran ini disebut biaya periodik. Sebenarnya ini bukan murni matching ini adalah approximation dari matching. Namun konsep ini dapet diterima karena beberapa alasan sebagai berikut :
a. Banyak biaya periodik secara tidak langsung dikaitkan dengan biaya pada periode sekarang sehingga tidak berbeda antara matching menurut dasar penggunaan atau dasar waktu pelaporan.
b. Untuk hal-hal tertentu sukar mengidentifikasi hubungan langsung antara jenis hasil dan biaya.
c. Jika misalnya suatu biaya tidak bisa dianggap akan memberikan kontribusi terhadap hasil yang akan datang mengapa tidak dibebankan kepada periode sekarang.
d. Untuk biaya yang bersifat berulang-ulang dan reguler, tidak ada pengaruh material terhadap masalah kapan dibiayakan.
e. Banyak biaya bersifat joint cost yang sukar diasosiasikan untuk hasil tertentu sehingga memerlukan alokasi arbitrer dengan menggunakan dasar waktu.

C. DEFINISI HASIL, BIAYA, DAN LABA
1) Hasil (Revenue)
Adalah penambahan kotor capital sebagai akibat dari kegiatan perusahaan. Hasil ini diperoleh akibat dari penjualan barang dagangan, melaksanakan / memberikan jasa kepada langganan, sewa dari hak milik, meminjamkan uang dan pekerjaan / professional activities yang mengarah untuk mendapatkan hasil.

2) Biaya (Expense)
Menurut Committee on Terminology adalah semua biaya yang telah dikenakan dan dapat dikurangkan pada penghasilan.
Biaya biasa nya dibagikan kepada 3 golongan, yaitu :
 Biaya yang dihubungkan dengan penghasilan pada periode itu.
 Biaya yang dihubungkan dengan periode tertentu yang tidak dikaitkan dengan penghasilan
 Biaya yang karena alasan praktis tidak dapat dikaitkan dengan periode manapun.

3. Gain and Loss.
 Gain (laba/keuntungan dari ttransaksi tertentu yang sifatnya insidentil).
Diluar laba diatas, adalagi penggolongan laba diluar laba tersebut yaitu yang dikenal dengan istilah gain. Gain adalah naiknya nilai ekuitas dari transaksi yang sifatnya insidentil dan bukan kegiatan utama entitas dan dari transaksi kejadian lainnya yang mempengaruhi entitas selama satu periode tertentu kecuali yang berasal dari biaya atau pemberian kepada pemilik.
 Losses (rugi dari transaksi tertentu yang sifatnya insidentil) :
Losses adalah turunnya nilai ekuitas dari transaksi yang sifatnya insidentil dan bukan kegiatan utama entitas dan dari seluruh transaksi kejadian lainnya yang mempengaruhi entitas selama periode tertentu kecuali yang berasal dari biaya atau pemberian kepada pemilik (prive).

4. Laba Rugi
Menurut Committee on Terminology, laba adalah jumlah yang berasal dari pengurangan harga pokok produksi, biaya lain, dan kerugian dari penghasilan atau penghasilan operasi. Menurut APB statement mengartikan laba (rugi) sebagai kelebihan (defisit) pengahasilan diatas biaya selama satu periode akuntansi. Dari definisi dua pertama, dapat dilihat dengan jelas bahwa definisi itu condong pada pendekatan revenue expense approach, sedangkan definisi tarkhir cenderung asset liabillity approach.

D. PENGAKUAN PENDAPATAN
Kapan revenue dianggap sebagai penghasilan. Secara teoritis pertanyaan ini dapat dijawab sebagai berikut. Dalam hal waktu yang dimaksud disini ada 4 alternatif, yaitu :
- Selama produksi
- Pada saat produksi selesai.
- Pada saat penjualan.
- Pada saat penagihan kas.



E. BENTUK PENYAJIAN RUGI LABA

Dalam menyajikan laporan laba rugi dikenal :
1. Current Operating Income.
2. All Inclusive Income.

Perbedaan ini timbul akibat perbedaan pendapatan mengenai apakah suatu pos disajikan dalam laporan laba rugi atau dalam laporan laba ditahan. Ada yang berpendapat bahwa yang dicantumkan dalam laporan laba rugi hanyalah pendapatan yang berasal dari kegiatan normal (normal operating income), sedangkan pos yang berasal dari kegiatan yang tidak biasa dicantumkan saja dalam laporan laba ditahan sehingga laba di bottom line adalah laba normal. Pendapat ini menghasilkan konsep pelaporan normal operating income. Konsep ini mengganggap bahwa dalam menilai prestasi manajemen yang dinilai hanyalah yang berasal kegiatan normal tidak termasuk kegiatan insidentil dan angka inilah yang lebih tepatb dalam membuat prediksi kemampuan perusahaan mendapatkan laba dimasa yang akan datang. Masalah yang dibahas dalam penyajian laba ini lebih difokuskan pada masalah konseptual tentang apa yang disebut laba. Masalah yang erat kaitannya dengan penyajian adalah pemisahan pelaporan pos-pos transaksi operasi dan pos-pos transaksi dengan pemilik (transaksi modal). Pos-pos operasi dalam arti luas (transaksi nonpemilik) pada umumnya dilaporkan melalui statemen laba-rugi, sedangkan pos-pos yang merupakan transaksi modal dilaporkan melalui statemen laba ditahan atau statemen perubahan ekuitas.

F. INCOME SMOOTHING
Perataan laba (income smoothing) merupakan salah satu pola dari manajemen laba (Cahan, 2008). Penjelasan konsep manajemen laba menggunakan teori keagenan dan teori akuntansi positif. Teori keagenan menyatakan bahwa praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul karena adanya keinginan untuk memaksimalkan kemakmuran masingmasing. Teori akuntansi positif didasarkan pada adanya dalil bahwa manajer, pemegang saham, dan aparat pengatur adalah rasional dan mereka berusaha untuk memaksimalkan kegunaan mereka, yang secara langsung berhubungandengan kompensasi serta kesejahteraan mereka. Pilihan atas suatu kebijakan akuntansi oleh beberapa kelompok tersebut bergantung pada perbandingan relatif biaya dan manfaat dari prosedur-prosedur akuntansi alternatif (Belkaoui, 2007b:187). Sejalan dengan konsep manajemen laba, konsep perataan laba juga menggunakan teori keagenan dan teori akuntansi positif.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perataan Laba
Perataan laba dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendorong manajer untuk melakukan perataan laba. Banyak penelitian yang telah menguji faktor-faktor tersebut dan hasil penelitiannya belum menemukan hasil yang konsisten. Penelitian ini menguji beberapa faktor yang diduga mempengaruhi praktik perataan laba.
1. Ukuran perusahaan. Ukuran perusahan dalam penelitian ini diproksikan dengan nilai ln total aktiva. Nilai total aktiva digunakan dengan dasar bahwa besarnya nilai total aktiva mencerminkan harta atau kekayaan yang dimiliki perusahaan. Jadi, dapat diasumsikan bahwa semakin besar nilai total aktiva maka semakin besar ukuran perusahaan. Perusahaan besar diperkirakan akan menghindari fluktuasi laba yang terlalu drastis sebab kenaikan laba yang terlalu drastis akan menyebabkan bertambahnya pajak. Sebaliknya, penurunan laba yang drastis akan merusak citra perusahaan.
2. Profitabilitas. Profitabilitas diproksikan dengan return on asset (ROA). ROA diperoleh dari laba bersih dibagi dengan total aktiva. Laba bersih tersebut merupakan laba sebelum dilakukan perataan laba. Laba sebelum perataan laba diperoleh dengan mengurangi laba bersih dengan nilai Total Accruals (TA). Menurut Scott (2000:365), perusahaan cenderung melakukan income minimization saat memperoleh tingkat profitabilitas tinggi. Tingkat profitabilitas yang stabil akan memberikan keyakinan pada investor bahwa perusahaan tersebut memiliki kinerja yang baik dalam menghasilkan laba.
3. Financial leverage. Financial leverage diproksikan dengan debt to total asset yang diperoleh melalui total utang dibagi dengan total aktiva. Adanya indikasi perusahaan melakukan perataan laba untuk menghindari pelanggaran perjanjian utang dapat dilihat melalui kemampuan perusahaan tersebut untuk melunasi utangnya dengan menggunakan aktiva yang dimiliki. Perusahaan yang mempunyai tingkat leverage yang tinggi diduga melakukan perataan laba karena perusahaan terancam default sehingga manajemen membuat kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan.
4. Kepemilikan institusional. Kepemilikan saham yang besar oleh pihak institusional merupakan salah satu mekanisme untuk mengawasi kinerja manajemen. Pemegang saham institusional dapat mengimbangi informasi yang dimiliki oleh manajemen sehingga asimetri informasi yang terjadi antara manajemen dan pemilik rendah. Hal tersebut meyebabkan manajemen tidak leluasa untuk melakukan pengelolaan atas labanya.
5. Reputasi auditor. Kualitas auditor eksternal menjadi salah satu pengendali manajemen untuk melakukan perataan laba. Kualitas audit yang lebih tinggi dari KAP yang besar menjadi salah satu pertimbangan manajemen untuk melakukan pengelolaan atas laba. Nama besar auditor akan menghambat manajemen melakukan perataan laba dan menambah kredibiltas pelaporan laba. Jadi, perusahaan yang melakukan perataan laba akan menghindari penggunaan jasa auditor besar.

G. PERUBAHAN AKUNTANSI
Perubahan prinsip akuntansi bukan hanya mempengaruhi laba rugi periode berjalan, tetapi juga periode yang lalu. Perubahan ini ada 3 yaitu :
1) Perubahan dalam Prinsip Akuntansi.
Perubahan ini timbul dari penerapan prinsip akuntansi yang baru yang berbeda dari prinsip yang dianut sebelumnya,
2) Perubahan dalam Taksiran.
Dalam akuntansi kita sering melakukan taksiran, misalnya taksiran umur dan taksiran deposit barang tambang setelah beberapa lama kita mendapat informasi yang baru sehingga merubah taksiran yang lama disebut perubahan taksiran dalam akuntansi.
3) Perubahan dalam Laporan Entitas.
Perubahan ini terjadi sebagai akibat dari perubahan yang materiil terjadi dalam entitas yang sebelumnya dilaporkan melalui laporan keuangan.


PSAK memberi pedoman terhadap perubahan akuntansi ini sbb :
1. Pengaruh kumulatif dari perubahan ke prinsip akuntansi yang baru dilaporkan dalam perhitungan laba rugi periode berjalan, dan disajikan diantara pos biasa dan laba bersih.
2. Untuk perubahan penilaian persediaan dari atau ke metode LIFO di mana pengaruh kumulatif umumnya sulit ditentukan.
3. Laporan keuangan harus dinyatakan kembali secara retroaktif untuk perubahan berikut ini :
a) Perubahan dalam periode akkuntansi untuk kontrak pembangunan jangka panjang.
b) Perubahan ke atau dari metode biaya penuh dalam industri ekstraktif.
4. Sifat dan alasan dilakukan perubahan dalam kebijakan akuntansi harus diungkapkan dalam catatan atas laporan kuangan periode terjadinya perubahan.

H. KETERBATASAN LAPORAN KEUANGAN
Sebelum mengambil keputusan, para pemakai laporan keuangan harus mengetahui dan memahami terlebih dahulu sifat dan keterbatasan laporan keuangan agar para pemakai laporan keuangan tersebut tidak salah mengartikan sehingga tidak akan menyesatkan dalam pengambilan keputusan.
Menurut S Munawir dalam bukunya “Analisa Laporan Keuangan” menyatakan bahwa:
“Laporan keuangan yang bersifat historis serta menyeluruh dan sebagai suatu laporan kemajuan laporan keuangan terdiri dari data-data yang merupakan hasil dari kombinasi antara:
a. Fakta yang telah dicatat (Recorded Fact)
b. Prinsip-prinsip kebiasaan-kebiasaan didalam akuntansi (Accounting Convention and Postulate)
c. Pendapat pribadi (Personal Judgement)”.
(2002;6)

Dengan mengingat atau memperhatikan sifat-sifat laporan keuangan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa laporan keuangan mempunyai keterbatasan. S Munawir mengemukakan keterbatasan laporan keuangan yaitu:
“Keterbatasan Laporan Kuangan antara lain:
1. Laporan keuangan yang dibuat secara periodik pada dasarnya merupakan interim report (laporan yang dibuat antara waktu tertentu yang sifatnya sementara) dan merupakan laporan yang final.
2. Laporan keuangan menunjukkan angka dalam rupiah yang kelihatannya bersifat pasti dan tepat, tetapi sebenarnya dengan standar nilai yang mungkin berbeda atau berubah-ubah.
3. Laporan keuangan disusun berdasarkan hasil pencatatan transaksi keuangan atau nilai rupiah dari berbagai waktu atau tanggal yang lalu dimana daya beli (purchasing power) uang tersebut menurun, dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya, sehingga kenaikan volume penjualan yang dinyatakan dalam rupiah belum tentu menunjukkan atau mencerminkan unit yang dijual semakin besar, mungkin kenaikan tersebut disebabkan naiknya harga jual barang tersebut yang mungkin juga diikuti kenaikan harga-harga.
4. Laporan keuangan tidak dapat mencerminkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi posisi atau keadaan keuangan perusahaan karena faktor-faktor tersebut tidak dapat dinyatakan dengan suatu uang”.
(2002;9)

Menurut Sofyan Syafri Harahap dalam bukunya “Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan” menyatakan bahwa:
“Keterbatasan Laporan Keuangan adalah:
1. Laporan keuangan bersifat historis, yaitu merupakan laporan atas kejadian yang telah lewat. Karenanya, laporan keuangan tidak dapat dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi dalam proses pengambilan keputusan ekonomi.
2. Laporan keuangan bresifat umum dan tidak dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak tertentu.
3. Proses penyusunan laporan keuangan tidak luput dari penggunaan taksiran dan berbagai pertimbangan.
4. Akuntansi hanya melaporkan informasi yang material.
5. Laporan keuangan bersifat konservatif dalam menghadapi ketidakpastian.
6. Laporan keuangan lebih menekankan pada makna ekonomis suatu peristiwa/transaksi daripada bentuk hukumnya.
7. Laporan keuangan disusun dengan menggunakan istilah-istilah teknis.
8. Adanya berbagai alternatif metode akuntansi yang dapat digunakan menimbulkan variasi dalam pengukuran sumber-sumber ekonomis dan tingkat kesuksesan antar perusahaan.
9. Informasi yang bersifat kualitatif dan fakta yang tidak dapat dikuantitatifkan umumnya diabaikan”.
(2002;235)

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan bersifat historis dan hanya merupakan gambaran kemajuan perusahaan yang terdiri dari data-data, laporan dan elemen yang cukup berarti yang mempunyai sifat yang dapat mempengaruhi atau menyebabkan timbulnya suatu perbedaan dalam suatu pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan keadaaan lain yang ada di perusahaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar